picislice

Welcome back


“Aku udah di depan rumah kamu.”

”....”

“Oke.”

Tak lama setelah Mingyu mematikan sambungan telfon, pintu rumah bercat cokelat itu terbuka. Seorang pemuda manis berkaca mata keluar secara tergesa dengan pakaian putihnya.

Yang menunggu di dalam mobil bersiap menyetel lagu sesaat setelah yang di tunggu sudah duduk nyaman di jok sebelah.

“Udah lama?” tanya Wonwoo sembari memasang seatbelt.

“Baru kok.”

“Oh, yaudah. Ayo jalan. Mau kemana?”

“Timezone? udah lama gak main.”

“AYO! Main pump ya?”

“Boleh. Mode hard tapi.”

“Oke! siapa takut?”

Mobilnya dijalankan. Sengaja menyetel audio dengan volume 12, tak terlalu kecil tak terlalu besar tapi cukup untuk menginterupsi percakapan.

I get like this every time On these days that feel like you and me Heartbreak anniversary 'Cause I remember every time On these days that feel like you and me Heartbreak anniversary Do you ever think of me?

“Heartbreak anniversary gak tuh.” ucap Wonwoo dengan nada mengejek.

Mingyu dalam mode mellow adalah sasaran empuk untuk bahan bullyan. Orangnya akan diam sepanjang jalan seolah-olah urusan negara ada di pundaknya. Terlalu banyak hal yang dipikirkan.

“Emang bener kan? 8 Januari tahun lalu ada orang telfon malem-malem mau minta putus.”

“Ih, diungkit-ungkit terus.”

“Hahaha, yaudah enggak.”

“Aku mau tanya deh, waktu kita putus kamu nangis ya?” tanya Wonwoo penasaran.

“Iya.” jawab Mingyu santai.

“Oh, wow. Kaget.”

“Kaget doang, tanggung jawab dong.”

”...”

Yang dimintai pertanggung jawaban pura-pura tak dengar, malah mengalihkan percakapan yang membuat Mingyu terbawa topik pembicaraan dan melupakan tujuan utamanya.


“Kan, udah dibilang gak bakal menang kalau lawan aku.”

“Curang. Kaki kamu panjang jadi lebih mudah.”

“Itu gak curang namanya sayang... Ayo sekali lagi.”

“Gak mau. Pasti kalah lagi. Kita dance aja di sebelah.”

“Kamu gak capek?” tanya Mingyu. Tangannya yang semula berada di pinggang naik untuk mengelap keringat Wonwoo. Sedikit heran kenapa pemuda ini tak merasa lelah sama sekali setelah mencoba mengalahkannya 5 kali di permainan Pump It Up.

“Enggak. Tapi haus.”

“Yaudah duduk dulu bentar, aku beli minum.”

“Okei.”

Patuh ia menunggu sang mantan pacar membelikan minuman. Tangannya sibuk mengetik sesuatu di atas benda tipis yang digenggamnya.

Gyu cepet GYUUUU cepet plis... ada yang liatin aku dari tadi!!!!! COWOK BANYAK 3 orang takut huhuhu BELI MINUM DI HONGKONG YA LO?! lama banget buset gyu😭😭😭 anjing, satunya berdiri jalan NYAMPERIN GUE

“Wonwoo ya?”

“Ya?” Kepalanya mendongak, menatap lelaki yang sedari tadi memperhatikannya. Wonwoo tak kenal lelaki ini, sedikit terkejut saat orang itu memanggil namanya.

“Ah maaf. Kita temenan di instagram.”

“Oh, iya hahahaha.” tawanya canggung. Walaupun mereka berteman di instagram tapi Wonwoo tak tau orang ini. Wajar, ia jarang membuka sosial media.

“Dari tadi mau samperin tapi gak enak, kayaknya lagi asik banget.” ucap lelaki itu.

“Samperin aja gapapa, gak gigit kok.”

Lelaki itu tertawa, “lucu deh.”

“Lagi jalan sama pacar ya?” tanya lelaki itu lagi.

“Sayang, ini minum kamu.” Jawaban Wonwoo terpotong oleh kehadiran Mingyu.

Ia menoleh kearah lelaki yang mengobrol bersama Wonwoo tadi. Ditatapnya lelaki itu dari atas ke bawah sebelum melemparkan sebuah pertanyaan.

“Temen kamu, Ay? kok aku gak tau?”

Wonwoo bingung dengan perubahan sikap Mingyu, tapi ia lebih memilih untuk mengikuti permainan dari pada harus berlama-lama dalam situasi canggung ini.

“Iya. Yaudah yuk, katanya tadi mau photo box?”

Matanya menatap Mingyu, memohon untuk mengerti bahwa ia ingin cepat-cepat pergi dari sini.

“Oh iya. Duluan ya temennya Wonwoo.”

Mereka segera pergi meninggalkan lelaki tadi dengan kebingungan.

“Kenal cowok tadi?” tanya Mingyu saat mereka sudah memasuki photo box.

“Enggak, tapi dia kenal aku.”

“Ih serem, stalker kali?”

“Apasih, jangan bikin takut.”

Mingyu tertawa melihat Wonwoo yang memajukan bibirnya. Ia meminum minuman yang dibeli Mingyu tadi.

“Masih inget aja aku suka hazelnut.” Ia menyedot minuman dari pipet sambil menatap Mingyu yang sedari tadi memperhatikannya.

“Aku gak pernah lupa tentang kamu.”

Bicaranya kelewat santai, membuat Wonwoo mengalihkan matanya ke arah lain untuk menghindari Mingyu yang tersenyum manis ke arahnya.

Pertahanannya akan goyah sebentar lagi.

“Mumpung udah di sini sekalian poto ya?”

Permintaan Wonwoo dijawabi anggukan oleh Mingyu. Ia menggesek kartu dan menyuruh Wonwoo untuk memilih frame yang akan digunakan.

“Gyu, bagus-bagus ya.”

Pose pertama masih normal. Mereka berdiri bersandingan sambil menatap ke kamera.

“Yang kedua.”

Tangannya mulai berani untuk merangkul pundak Wonwoo. Yang dirangkul sedikit terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu.

Tak ingin merangkul balik, tangan Wonwoo malah ia silangkan di depan dada dan tubuhnya ia condongkan ke depan.

“Kurang close up deh. Maju lagi nu.”

Potret ketiga adalah mereka yang sama-sama mendekatkan wajah kehadapan kamera.

“Nah, lebih deket lebih ganteng.”

“Gyu, satu lagi.”

Poto terakhir, pose terakhir, tapi tidak menjadi akhir.

Mingyu benar-benar menggunakan kartu kesempatannya. Dengan jarak mereka yang dekat dan tangan Mingyu yang masih bertengger di pundak Wonwoo, Mingyu mencium pipinya.

Mingyu mencium pipi Wonwoo sebagai pose terakhir mereka. Tercetak dengan sangat jelas di selembar kertas poto yang keluar dari mesin snapshot.

Sesaat setelah Mingyu menjauhkan bibirnya dari pipi Wonwoo, ia membisikkan sesuatu yang membuat Wonwoo mendapatkan kembali kesadarannya.

“Selamat tanggal 8 Januari. Ayo balikan. Gak usah mulai dari awal, kita lanjutin aja apa yang ada.”

Perlahan Wonwoo memberanikan diri untuk menatap Mingyu yang masih setia tersenyum padanya.

Tak lama bibirnya ikut melengkung ke atas, membalas senyuman dari pria di depannya.

Cup

Sebuah kecupan mendarat di bibir Mingyu. Hanya sebuah kecupan kilat yang berdurasi 1 detik.

“Ayo balikan, lanjutin apa yang ada.”

Senyuman manis yang Wonwoo berikan setelah memorak-porandakan jantung Mingyu membuat mereka tertawa.

Tangannya terbuka lebar untuk memberikan sebuah pelukan hangat sebagai ucapan selamat datang kembali ke hatinya.

Memang sedari awal mereka tak pernah beranjak dari hati masing-masing. Betah menetap walau tak ada status setelahnya.

Karena mereka tau bahwa tuhan mentakdirkan mereka untuk bersama. Dan jeda setahun sudah cukup untuk membuat mereka merasa kehilangan dan gelisah setiap harinya.

“Makasih udah mau terima aku lagi.” Ujar Mingyu.

Tubuh Wonwoo dipeluk Mingyu erat dengan tangan Mingyu yang menepuk punggungnya pelan.

“Kamu gak pernah pergi dari hidupku.” bisik Wonwoo.

Pelukan mereka terlepas. Kedua tangan mereka saling bertautan dengan Mingyu yang mengusap punggung tangan kanan Wonwoo pelan.

“Ayo pulang,

Pacar?”

“Nu, ayo ke lapangan.” Ajak Jihoon kepada Wonwoo yang sedang bermain game di handphone nya.

Saat ini mereka sedang ada kegiatan classmeeting di sekolah. OSIS memperbolehkan siapa saja yang ingin menampilkan bakatnya saat classmeeting sebagai acara hiburan disela-sela lomba lainnya.

“Gak mau, di kelas aja, bentar lagi penilaian lomba kebersihan kelas.” Tolak Wonwoo kepada Jihoon.

“Di lapangan ada yang mau tampil bakat loh, gak mau liat?”

“Enggak Ji, lagian pasti rame, gue males kalo banyak orang.”

“Gak usah sok ngartis.” Jeonghan menginterupsi keduanya, dengan tak sopannya ia menarik lengan Wonwoo.

Seperti dugaan, lapangan sekolah sangat ramai saat acara hiburan tiba. Entah apa yang dilihat oleh siswa siswi ini sehingga mereka sangat antusias, berbeda dengan Wonwoo yang berjalan ogah-ogahan menuju ke lapangan.

“Nu, Mingyu.” Seungkwan yang entah datang dari mana tiba-tiba menyenggol pundaknya dan menunjuk ke arah panggung, ada Mingyu dengan gitarnya sedang bersiap-siap untuk menyanyi.

“Loh, Mingyu bisa nyanyi?” tanya Wonwoo.

Suara mic yang diketuk membuat keadaan sedikit senyap.

“Ekhem, sebelumnya perkenalan dulu, gue Mingyu dari kelas Ipa 2, hari ini gue mau mempersembahkan sebuah lagu sebagai hadiah untuk seseorang. Seseorang yang beberapa bulan kebelakang selalu repot karena masalah yang gue kasih.”

Matanya mencari-cari keberadaan pemuda yang dimaksud.

Jeonghan menyenggol pundak Wonwoo, “Yang Mingyu maksud lo bukan?”

Wonwoo mengangkat pundaknya, “Gak tau.”

“Lagu ini untuk kembaran sahabat gue, anak Ipa 1 yang hidupnya jadi gak tenang gara-gara gue.” Lanjut Mingyu.

“Tuh kan bener buat lo!” ucap Jeonghan lagi.

Membuat Wonwoo bertanya-tanya apa kiranya yang akan lelaki itu perbuat. Feelingnya tak enak.

'Please jangan confess depan umum.'

“Yang tau lagunya nyanyi bareng ya.” Lagaknya sudah seperti seorang penyanyi band kondang.

Perlahan Mingyu mulai memainkan gitarnya.

Andai engkau tahu Bila menjadi aku Sejuta rasa di hati Lama telah kupendam Tapi akan kucoba mengatakan

“Suara Mingyu bagus juga, ya kan Nu?”

Saat Jeonghan menoleh ke samping, Wonwoo sudah tidak ada. Ia pergi menyelinap ke barisan belakang. Sialnya dewi fortuna tidak memihak kepada Wonwoo. Di sana ada Seokmin dan Joshua yang berdiri menghadangnya.

'Ku ingin kau menjadi milikku Entah bagaimana caranya Lihatlah mataku untuk memintamu 'Ku ingin jalani bersamamu Coba dengan sepenuh hati 'Ku ingin jujur apa adanya Dari hati

“Mau kemana?” tanya Seokmin saat melihat Wonwoo yang hendak kabur.

“Mau ke kelas, panas banget disini.”

“Kalau mau bohong cari alasan lain dong.”

Tubuhnya lagi-lagi ditarik ke dalam kerumunan. Kali ini Seokmin menyeretnya kebarisan paling depan, tepat dimana Mingyu dapat dengan jelas melihat Wonwoo.

“Seok, gue mau di belakang aja...”

Permintaannya tak diindahkan. Seokmin memaksa Wonwoo untuk melihat Mingyu yang sedang menatapnya tepat di mata.

Kini engkau tahu Aku menginginkanmu Tapi takkan kupaksakan Dan kupastikan Kau belahan hati Bila milikku

“Nu, gue mau tanya, jawab jujur tapi ya?”

Seokmin menoleh ke arah Wonwoo, tapi lawan bicaranya hanya menunduk menatap sepatu.

“Deg-degan gak?”

Tak dijawab. Bukan karena tak tau mau jawab apa, hanya malu untuk mengaku.

“Jangan kelamaan gantungin anak orang, nanti nyesel.”

'Ku ingin kau menjadi milikku Entah bagaimana caranya Lihatlah mataku untuk memintamu 'Ku ingin jalani bersamamu Coba dengan sepenuh hati 'Ku ingin jujur apa adanya

Suara sorakan memenuhi telinga. Mingyu turun dari panggung dan segera mencari Wonwoo, tapi ia tak menemukannya.

Tak lama sebuah pesan masuk ke handphonenya.

“Belakang sekolah.”

Dengan cepat Mingyu menghampiri Wonwoo. Jantungnya berdegub kencang, berharap bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan.

“Nu..”

Mendengar suara Mingyu membuat Wonwoo menjadi salah tingkah.

“Si-sini, duduk.” ajak Wonwoo sambil menepuk kursi di sebelahnya.

Canggung. Mereka sibuk mengatur detak jantung masing-masing.

“Gimana lagu tadi?” tanya Mingyu membuka percakapan.

“Bagus.” Jawab Wonwoo singkat.

“Gitu doang?”

“Ah.. suara lo juga bagus.”

“Maksud gue tentang arti lagunya.”

“Hah? ga paham.”

Bohong. Mingyu tau Wonwoo mengerti maksudnya, hanya saja ia menghindar untuk mengerti.

Helaan nafas keluar dari mulut Mingyu, ia beranikan diri untuk menggenggam tangan Wonwoo yang menganggur di sisi tubuhnya.

“Nu, ayo pacaran.”

Sama seperti Mingyu, tangannya juga mendadak dingin. Ia sudah tau rencana Mingyu yang mengajaknya pacaran, tapi tetap saja ia terkejut.

“Pake aba-aba dong, Gyu... kaget.”

“Aba-abanya yang tadi di panggung. Lo nya aja yang ga peka.”

Mingyu mengeratkan genggaman tangannya, “Jadi gimana?”

“Ayo.” jawab Wonwoo sambil membalas genggaman tangan Mingyu.

“Ayo... apa?”

“Ayo pulang. Bel nya udah bunyi.” “Sekalian pacaran.”

“Hah?” Mingyu bingung mendengar jawaban Wonwoo.

“Ayo. Masih mau duduk?”

“Bentar. Jadi pacaran kan?” Sekali lagi Mingyu ingin memastikan bahwa ia tidak salah tangkap.

“Kalo lo berdiri sekarang kita pacaran.”

Dengan cepat Mingyu berdiri, menarik Wonwoo untuk kembali ke lapangan. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi Wonwoo benar-benar menyesal dengan keputusannya sendiri.

“WOY GUE UDAH JADIAN SAMA WONWOO!”

Mingyu yang saat ini sudah mendapatkan pujaan hatinya, berteriak di tengah lapangan saat jam pulang sekolah. Dimana anak-anak baru saja keluar kelas sambil membawa tas masing-masing.

Ya, Mingyu menjadi pusat perhatian. Lagi.

“Udah dibilang jangan bikin onar. GAK JADI PACARANNYA!”

“Eh, Nu? Mau kemana? Tunggu!”

“Loh, Nak Mingyu? Apa kabar? udah lama gak kesini.”

“Iya Ma, Mingyu baru ada waktu buat main lagi.”

Wonwoo menyimak percakapan Mingyu dan seorang wanita yang Wonwoo duga adalah Ibunya Ara. Wajar jika Mingyu dekat dengan Ibunya Ara, mengingat hubungan keduanya bukan sebentar.

“Ini temennya Ara juga?” tanya Ibu Ara sambil menunjuk Wonwoo.

“Ah iya tante, saya Wonwoo.”

“Ohhh, yaudah duduk dulu ya, tante panggilin Ara.”

Bukan Ara yang turun dari lantai atas, tapi Billie.

“Bill, Ara mana?” tanya Mingyu.

“Ara gak mau turun, Gyu. Katanya nanti dia kesel liat lo sama... Wonwoo.” Billie melihat Wonwoo dengan tatapan tak enak.

“Gapapa, gue maklum.” kata Wonwoo. Padahal ia bingung kenapa seolah-olah Ara yang korban disini.

“Kalo Ara ga mau ketemu gimana cara nyelesain masalahnya?” tanya Mingyu.

“Tunggu, biar gue keatas buat bujuk Ara.”

“Ga perlu.”

Baru saja Billie ingin beranjak dari duduknya, Ara turun dengan wajahnya yang masih sembab. Ia memegang HP ditangan kanannya.

“Lo cek sosmed?!”

Pertanyaan Billie dijawab anggukan oleh Ara. Ia berjalan menuju sofa di depan Mingyu dan Wonwoo. Air matanya masih mengalir, tapi dengan cepat Ara menghapus itu. Wonwoo menjadi iba melihatnya, walau tak bisa dipungkiri ia juga kesal.

“Mingyu, Wonwoo, gue... mau minta maaf.”

Suaranya pelan, Wonwoo peka bahwa nada bicaranya seperti terpaksa. Tapi ia tak ingin bicara sebelum Ara menyelesaikan perkataannya.

“Ini gak sesuai ekspetasi gue, semuanya jadi boomerang untuk diri gue sendiri.”

“Dan lo gak bisa hadapin itu semua, iya kan?”

Pertanyaan Wonwoo dijawab anggukan oleh Ara.

“Gue masih sayang Mingyu. Tapi...” Ara menjeda ucapannya, membaca ekspresi Mingyu yang terlihat tidak terkejut, atau lebih tepatnya tak peduli.

“Tapi Mingyu lebih sayang lo, Won.” lanjut Ara.

Wonwoo diam, tak ingin merespon pernyataan Ara.

Mingyu menghela nafas dalam, “Ara, gue gak mau memperpanjang masalah ini, gue juga gak mau bicara apa-apa ke sosmed tentang igs lo. Semuanya harus lo beresin sendiri, karena itu akibat dari perbuatan lo.”

“Permintaan maaf lo diterima, tapi jangan diulangi ya?”

Ara berdiri sambil menyeka air matanya, “Iya, janji, gue janji gak bakal ganggu lo dan Wonwoo lagi.”

Ia berlari untuk memeluk Mingyu, “Makasih, Gyu. Gue bakal tarik semua omongan gue tentang lo dan Wonwoo.”

Mingyu yang dipeluk Ara tepat dihadapan Wonwoo menjadi gelagapan, ia mendorong tubuh Ara agar menjauh darinya, “Iya iya, sekarang selesain semua masalah yang lo buat. Gue sama Wonwoo mau pulang.”

Saat Wonwoo berdiri dari duduknya, Ara memeluk tubuhnya, “Won, makasih ya udah maafin gue, lo baik banget.”

Pelukannya dibalas oleh Wonwoo, “Jia udah cerita semuanya, minta maaf sama Jia juga ya, Ra? Dia sayang banget sama lo.”

“Iya Won, gue bakal selesain semua masalah termasuk perbaiki hubungan gue dan Jia.”

Pelukan mereka terlepas karena Mingyu sedikit menarik tubuh Wonwoo ke belakang, membuat Ara sedikit iri melihatnya.

“Kita pulang dulu ya, Ra.”

Sebelum benar-benar pulang, Ara memegang tangan Wonwoo dan membisikkan sesuatu, membuat pipinya memerah dan semakin ingin cepat pulang.

“Ara bilang apa sih, Nu?”

“Enggak, ayo pulang, sebentar lagi hujan.”

“Won, Mingyu suka lo dari lama, jangan di sia-siain dan jangan buat dia nunggu lebih lama lagi. Gue tau lo juga suka sama Mingyu, kan?”

“Nu, lu yakin ini ulang tahun? kok lebih mirip acara nikahan?”

“Bener gyu, itu rumahnya. Mamanya agak rempong, jadi wajarin aja.”

Mereka tiba di rumah Rowoon bermaksud untuk menghadiri acara ulang tahun Lia, adik bungsu Rowoon.

“Kak Nunu!”

Gadis kecil berumur 7 tahun itu berlari ke arah Wonwoo, membentangkan tangannya lebar-lebar meminta untuk digendong.

Tapi ia salah orang, yang menangkapnya bukan kakak berkacamata kesayangannya, melainkan kakak tampan berjaket levis yang juga menggunakan kacamata.

“Kamu bukan kak Nunu...”

Wonwoo tertawa melihat wajah keduanya yang sama-sama bingung.

“Happy birthday princessnya kakak.”

“Kak Nunu, Lia kangen!”

Ia menyamakan tingginya dengan Lia untuk memeluk tubuh kecil itu.

“Kakak juga kangen Lia. Oh iya, kakak bawa temen ke ulang tahun Lia, gakpapa kan?”

Baju Mingyu ditarik, memintanya untuk ikut berjongkok menyamakan tinggi dengan Lia.

“Halo Lia. Aku Mingyu, temennya Wonwoo.”

Lia menatap Mingyu dengan raut wajah yang tak dapat di baca.

“Kenapa Lia?”

“Pacar kak Nunu ya?”

“Bukan.”

“Belum.”

Jawaban keduanya bertolak belakang. Membuat Lia menjadi bingung mana yang benar.

“Wonwoo udah dateng?”

Mereka bertiga menoleh ke sumber suara. Di sana ada Rowoon yang berjalan ke arah mereka bersama seorang gadis bergaun pink selutut, gadis yang sama dengan yang ada di postingan instagramnya.

Jantung Wonwoo mendadak berpacu lebih cepat. Ia segera berdiri sambil merapikan kaca matanya.

“Ha-hai kak Rowoon.”

“Udah lama banget gak liat lo, kangen gue gak?”

Tubuhnya dipeluk erat, dengan Rowoon yang menepuk-nepuk punggungnya pelan. Membuat hatinya makin tak karuan kala pria itu mengulangi pertanyaan.

“Gak kangen ya?”

Pelukan terlepas, tapi tangan Rowoon yang memegang lengan Wonwoo belum dilepas.

Seseorang tak suka melihatnya. Tak ingin membuat keributan dan mengacaukan suasana, perlahan Mingyu menarik Wonwoo untuk memberikan jarak dengan Rowoon.

“Hahahaha.”

Tawa Wonwoo canggung, karena yang berdiri di belakang Rowoon membuatnya bingung.

“Kamu dari tadi liatin aku terus. Aku Emely, mantan Rowoon.”

'Mantan?'

Wonwoo memang bertanya dalam hati, tapi pertanyaan itu sangat terlihat dari raut wajahnya.

“Mantan temen karena sekarang jadi pacar. Emy emang suka bercanda.”

“O-oh gitu.”

'gak lucu'

Sakit saat tau bahwa orang yang disuka secara terang-terangan mengenalkan pacarnya.

“Hehehehe. Rowoon pernah cerita tentang kamu kok.”

“Oh ya?”

“Iya. Kamu yang selalu temenin Lia di rumah sakit.”

Wonwoo tersenyum getir, 'Jadi selama ini cuma dianggap orang yang selalu temenin adiknya pas sakit?'

“Gak salah kok.”

“Seokmin gak ikut, Nu?” tanya Rowoon.

“Enggak kak, dia ada janji. Tapi dia titip kado buat Lia.”

Kantong yang sedari tadi Mingyu pegang diambil oleh Wonwoo lalu diberikan kepada Lia.

“Ini dari kakak sama kak Seokmin.”

Dengan senang hati Lia mengambil kado tersebut, “Kok ada tiga? Kak Wonwoo ditambah kak Seokmin kan jadinya dua?” tanya Lia bingung.

“Satunya dari Kak Mingyu.”

Perlahan Lia mendekati Mingyu yang masih setia berdiri di sebelah Wonwoo. Ia memeluk lelaki itu sambil mengucapkan terima kasih.

“Makasih ya pacarnya kak Nunu! Kakak baik, Lia suka.”

Mereka yang dituduh berpacaran saling tatap.

'Udah Nu biarin aja.' ucap Mingyu kepada Wonwoo tanpa suara.

“Sama-sama princess. Sekali lagi selamat ulang tahun ya!” dengan gemas Mingyu memberikan usapan di rambut Lia.

“Ayo Wonwoo kita makan dulu. Ajak pacar kamu juga.”

Selama acara ulang tahun Mingyu hanya menjadi buntut Wonwoo. Mengikuti kemana Wonwoo pergi, bahkan menunggu di depan pintu kamar mandi saat induknya izin buang air kecil.

“Beneran pacar Wonwoo ya?”

Sebuah suara menginterupsi lamunannya. Wonwoo bilang ingin mengambil makanan di dalam, jadi Mingyu menunggu di bangku teras sebelum kedamaiannya dirusak oleh tuan rumah.

Pertanyan Rowoon tak di jawab. Katanya terlalu malas meladeni orang tidak jelas.

“Gue tau kok kalo selama ini Wonwoo suka sama gue.”

Sebuah pernyataan yang keluar tanpa pertanyaan membuat darah Mingyu seketika mendidih.

“Gak ada yang nanya.”

“Dia baik. Tapi gue udah anggap dia kayak adik sendiri.”

“Basi.”

Rowoon tersenyum mendengar reaksi Mingyu.

“Kayaknya belum pacaran, ya kan?”

“Bukan urusan lo.”

“Jangan galak-galak, Wonwoo sukanya sama softboy.”

Omongan Rowoon tak digubris.

“Nikmatin acaranya ya. Jangan pulang duluan, goodie bag nya lumayan.”

Lalu ia pergi setelah membuat Mingyu emosi.

“Udah nyebelin, sok asik lagi.” kesalnya.

Setelah acara selesai mereka langsung pulang. Tak ada percakapan diantara keduanya, karena Mingyu dapat melihat suasana hati Wonwoo yang tak baik.

“Makasih udah temenin gue.”

“Lo gapapa Nu?”

“Lanjut di chat aja, Gyu. Nanti lo kemaleman.”

Sebuah usiran halus.

“Oke deh. Gue pulang ya.”

Motornya perlahan hilang di ujung jalan. Wonwoo menghelas nafas dalam, mengeluarkan sesak yang sedari tadi lelah di tahan.

“Harus ikhlas.”

Pagi ini rumah mereka sangat tenang. Tak ada kegaduhan seperti hari-hari biasa dimana Wonwoo dan Mingyu sama-sama bersiap untuk pergi bekerja.

“Kamu beneran gak mau ikut ke kantor?”

“Males, mau dirumah aja.”

“Tapi aku khawatir kalau kamu dirumah sendiri.”

“Gapapa, sayang. Nanti kalo ada apa-apa aku langsung telfon kamu deh.”

”.....” “Aku telfon mama suruh nemenin kamu ya?”

“Gak mau. Mau sendirian di rumah.”

“Sayang...”

“Udah kamu berangkat sekarang, katanya ada meeting pagi?”

“Huh... yaudah, hati-hati ya.”

Setelah keningnya dikecup, Wonwoo benar-benar sendirian di rumah. Ingin menikmati hari sebagai orang hamil yang produktif.

Dimulai dengan ia yang mencoba untuk bersih-bersih rumah sendiri, lalu duduk di sofa untuk mengistirahatkan diri sambil mendengar musik classic.

Tapi pagi tenang itu harus terinterupsi oleh rasa sakit. Ia mulai merasakan kontraksi.

11.00 AM

Tentu ini belum masuk jam makan siang, tetapi Mingyu sudah kehilangan fokusnya.

“Pak, presentasinya sudah selesai.”

“O-oh, iya. Bisa ulangi bagian akhirnya?”

Begitulah tingkah Boss mereka hari ini. Membuat semua pegawainya bertanya-tanya apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu.

Hingga jam makan siang datang, Mingyu tetap mengecek hpnya berulang kali. Kenapa Wonwoo tidak dapat dihubungi?

“Gyu, mau makan siang bareng gak?”

Pertanyaan Seokmin tak di indahkan. Nyatanya Mingyu masih saja memainkan telfon pintarnya, mendial nomor seseorang, hingga air wajahnya semakin terlihat khawatir, lantas mengambil kunci mobil dan menitipkan pesan kepada Seokmin.

“Seok, gue pulang dulu. Pertemuan nanti siang batalin aja ya.”

Setelah itu ia pergi meninggalkan kantor menuju rumahnya.

Saat sedang menunggu di lampu merah, sebuah panggilan masuk ke handphonenya. Menampilkan kontak Wonwoo disana.

“G-gyu, pu-pulang, perut aku—”

Panggilan terputus. Membuat panik Mingyu menjadi-jadi. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk segera menemui sang suami.


6.00 PM Sekarang mereka sudah berada di ruang persalinan. Dimana Wonwoo sudah mengalami pembukaan sempurna dan berjuang untuk melahirkan.

Dengan suami yang setia menemani, ia berusaha sekuat mungkin untuk bertahan. Karena demi apapun, wajah Mingyu yang hampir menangis karena melihat Wonwoo yang terus meringis menjadi salah satu alasan ia masih terjaga.

Tapi nyatanya persalinan memakan waktu yang sedikit lebih lama.

7.00 PM Wonwoo tak dapat berpikir jernih, sudah 1 jam ia berusaha mengedan tapi bayinya tak kunjung keluar.

“Ayo dorong lagi, babynya udah keliatan loh, yang kuat ya pak, kasian baby nya kalo kelamaan di dalam, ayo pak dorong lagi ya.”

Ucapan dokter berusaha Wonwoo proses. Sakit yang dirasakan membuat tubuhnya benar lemas. Hanya dapat mengenggam tangan Mingyu kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang diderita.

“Gyu, aku gak sanggup.” ucapnya lemah.

Mendengar itu membuat Mingyu tambah panik.

“Sayang, kamu pasti bisa. Kamu kuat. Sedikit lagi kita bisa ketemu baby. Tahan ya? Aku disini temenin kamu.”

Dengan tenaga yang tersisa, Wonwoo benar-benar berusaha untuk mengikuti instruksi dari Dokter.

Tak lama kemudian suara tangisan bayi terdengar. Membuat perasaan lega di kedua dada mereka yang resmi menjadi orang tua.

“Selamat, Pak, bayinya perempuan dan lahir dengan sehat.”

“Syukur— Hah?”

Suara ombak di malam hari menemani dua orang yang sedang bergemul di atas kasur. Dengan nafas yang terengah dan bibir yang saling mengecap menciptakan suasana yang intim untuk saling terjaga hingga pagi.

Sebelum benar-benar melakukannya, sekali lagi Mingyu memastikan suaminya apakah benar baik-baik saja jika mereka melakukannya sekarang.

Tapi Wonwoo sudah kepalang menyiapkan diri. Kalaupun tak siap rasanya percuma saja merasa gugup dari pagi buta karena memikirkan cara untuk 'menjalani kewajiban menjadi suami yang baik'.

“Tak ada yang perlu dipastikan lagi, just do it.”

Dengan sekali tarikan saja bibir Mingyu sudah jatuh di atas bibir Wonwoo. Menekan tengkuk sang dominan agar semakin dalam mengecapi bibirnya.

Saat sedang menikmati ciuman memabukkan darinya, Mingyu mulai meraba tubuh bagian bawah Wonwoo, menyadari bahwa telapak tangannya langsung menyentuh kulit paha sang submissive yang terasa halus.

Dadanya di dorong pelan oleh Wonwoo, berusaha menetralkan kembali paru-paru yang membutuhkan banyak oksigen.

“Ternyata kamu udah siap banget ya?”

Pertanyaan tersebut diiringi dengan tangan kanan Mingyu yang sengaja meremas pantat Wonwoo yang tak tertutupi sehelai benang pun.

Membuat sang empunya sedikit meringis kala sang dominan terlalu kuat mencengkram pantat kanannya.

“Aku emang udah siap. What about you?”

Mingyu sedikit menyeringai kala mendengar pertanyaan suaminya. Mau tau?

Ia turun dari kasur, membuat Wonwoo bingung apa yang sedang ia lakukan. Lantas membuka koper dan mengeluarkan sebuah kantung plastik kecil.

Itu kantung plastik yang Wonwoo lihat saat pertama kali mereka pulang ke rumah.

“Apa itu?”

Dengan santainya Mingyu mengeluarkan sebotol lubricant dan sekotak pengaman. Membuat Wonwoo terkagum atas apa yang suaminya lakukan.

“Wait, aku lihat kantung itu waktu kamu pertama kali pulang ke rumah?”

“Honey, I've been ready since day one.”

“Sini, aku mau pinjem.”

“Buat apa?”

Wonwoo menarik Mingyu untuk kembali ke kasur, mengambil botol lubricant yang ada di tangannya, lalu membuka botol itu untuk di balurkan ke badannya.

Entah apa rencana Wonwoo, tetapi saat ia sudah hampir membuka kancing kemeja yang dipakainya, Mingyu menahan tangannya dan mengambil kembali botol lubricant itu.

“I know your plan. Biar aku aja.”

Mingyu duduk bersilang di atas kasur, lalu menepuk paha nya mengisyaratkan Wonwoo untuk duduk diatasnya.

Kedua lengan Wonwoo ia kalungkan di leher Mingyu. Tak ingin bibir itu menganggur lantas menciumnya dengan lembut dan tak terburu. Menikmati setiap kecapan yang mereka lakukan.

Dengan cepat Mingyu melepaskan semua kancing kemeja Wonwoo, meremas pinggangnya sebentar sebelum meraba tubuh mulus itu.

Ia membaringkan tubuh Wonwoo, mengecup bibirnya sekilas lalu turun untuk mengecup rahangnya, lalu turun lagi untuk menghirup aroma tubuh Wonwoo tepat di perpotongan lehernya.

“Kamu manis.”

“Ah-apa?”

“Tubuh kamu. Baunya manis.”

“Aku di kamar mandi hampir sejam.”

“Biar wangi?”

“Iya. Mau kamu terkesan.”

“Hahaha. Good boy. Sebagai hadiahnya, let me bring heaven to you.”

Menghisap leher mulus Wonwoo dengan kuat, meninggalkan bekas merah yang terpampang jelas di depan mata.

Tangannya tak tinggal diam, bermain nakal di atas dada Wonwoo membuat gundukan kecil itu mengeras.

Wonwoo yang tak ingin hanya menikmati, mulai berani menyentuh bagian selatan Mingyu. Mengelusnya pelan, merasakan benda itu membesar dan mengeras.

Belum selesai ia bermain dengan kepunyaan Mingyu, kedua tangannya di genggam dan di bawa ke atas kepala. Memberikan akses lebih untuk mata Mingyu melihat setiap sudut tubuhnya.

“Jangan gerak sebelum aku suruh.”

Menurut, Wonwoo tak akan protes dan akan mengikuti seluruh permainan Mingyu.

Sebelum membalurkan tubuh Wonwoo dengan cairan pelicin, Mingyu tak ingin menyiakan kulit putih mulus itu untuk tetap polos.

Meninggalkan banyak bercak merah dari leher hingga ke perut, dan mencium gemas perut datar milik Wonwoo.

“Beauty.” ucapnya setelah puas melihat tubuh Wonwoo yang penuh dengan karyanya.

“gyu-h..”

“Yes, honey?”

“bi-bisa langsung... ke–intinya?”

Mingyu melirik ke bawah di mana kepunyaan Wonwoo yang sudah menegang dan mengeluarkan precum.

“No.”

Ucapan Mingyu malah membuat Wonwoo frustasi.

“gyu.. aahh, please?”

“No.”

Tanpa aba-aba, Mingyu menumpahkan setengah botol cairan pelicin ke atas tubuh Wonwoo. Lubricant yang dingin mengenai nipple nya yang sensitif, membuat Wonwoo refleks mengusap tubuhnya sendiri.

“Hei, aku tadi bilang jangan bergerak kan?”

Sungguh, apa Mingyu berniat membuatnya gila?

“gyu... hhhh.”

“Sabar sayang, semuanya butuh proses.”

Proses? Ini namanya penyiksaan!

Cairan pelicin yang ada di tubuh Wonwoo ia ratakan hingga membuat tubuh itu licin. Lalu turun kebawah di mana kepunyaan Wonwoo sudah tegak dan mengurutnya pelan.

Membuat Wonwoo tak sabaran hingga menggerakkan pinggulnya sendiri. Merasa Wonwoo tak memuruti perkataannya membuat Mingyu menghentikan gerakan tangannya.

“Hahhh, ke-kenapa beren-tih?”

“Jangan. Gerak.”

Hanya dua kata penuh penekanan membuat Wonwoo kesal. Ia tak mau begini, ia tak ingin Mingyu saja yang meladeninya.

Dengan sekuat tenaga Wonwoo memutar balikkan posisi. Membuat Mingyu terlentang di atas kasur dengan dirinya yang duduk tepat di atas kepunyaan Mingyu.

“Kalau aku gerak, kenapa?”

Pertanyaan biasa yang tampak tak biasa karena diajukan dengan suara yang sensual. Dirinya yang sudah terbawa nafsu tak sabaran saat Mingyu melakukannya dengan sangat pelan.

Lantas dengan nakalnya Wonwoo menggerakkan pinggulnya tepat di atas kepunyaan Mingyu yang tertutupi celana.

Meremat kaos hitam milik Mingyu yang masih terbalut sempurna di tubuh sang dominan.

“Aku gak suka banyak main-main. Kalau kamu mau liat badan aku, yaudah, nonton aja aku main sendiri.”

Wonwoo menarik celana Mingyu, membiarkan benda yang sudah tak tahan sesak terbebas begitu saja.

“Liat, udah begitu tapi masih mau main-main, gak sesak?”

“Sesak. Tapi liat kamu kesusahan kayak tadi lebih bikin aku puas.”

“Oh? kalau gini puas gak?”

Seperti seorang pro player Wonwoo melayani kepunyaan Mingyu. Meremasnya dan mengurutnya dengan tangan kecilnya.

“Kalo buat kamu kita gak perlu pake lube, langsung pake mulut aku aja kali ya?”

“Try it.”

Mingyu dibuat terpukau dengan kemampuan Wonwoo dalam memuaskan miliknya. Sehingga sebuah pertanyaan timbul di kepalanya.

“Kamu udah pernah ya?”

“Belum.”

“Tapi kok pro banget?”

“Nonton. Belajar dari internet. Hahaha.”

Hal selanjutnya yang dilakukan oleh Wonwoo adalah membiasakan lubangnya sendiri.

Ia mencoba untuk memasukkan 2 jari langsung ke dalam holenya. Tapi sayang itu tak membuatnya puas. Lantas meminta bantuan kepada Mingyu yang hanya menonton sambil bersandar di kepala ranjang.

“Tadi katanya suruh aku nonton aja?”

“hng- gyu..”

Terkekeh sekilas sebelum mengecup pelipis Wonwoo.

“Let me help you.”

Jari Wonwoo telah digantikan oleh jari Mingyu. Tak sebanding dengan jarinya yang kecil, jari Mingyu terasa sudah mengoyak holenya.

“Won, jangan di jepit.”

“Ahh, gyu.”

2 jari Mingyu sudah membuatnya pening, apalagi jika kepunyannya yang masuk ke dalam tubuh Wonwoo.

“Honey, be ready.”

Disini puncak permainan mereka. Dimana Mingyu yang dengan puas menghajar lubang Wonwoo, mendengarkan namanya di desahkan sepanjang malam oleh sang submissive, mengeluarkan benihnya di dalam sana, dan menikmati setiap cakaran di punggungnya.

“Gyu... capek.”

Permainan pertama selesai. Mereka berdua terlentang di atas kasur dengan nafas yang terengah.

“Sayang, jangan tidur.”

Tak ada suara dari orang di sebelahnya. Menoleh, ia mendapati Wonwoo yang sudah memejamkan matanya dengan nafas teratur.

“hahaha, padahal badannya belum di bersihin.”

Melihat sang suami sudah tertidur pulas membuat Mingyu tak ingin menganggunya. Ia membenarkan posisi tidur Wonwoo dan menyelimuti tubuh polos mereka.

Menepuk-nepuk pelan bokong Wonwoo sebelum ikut menyelam ke alam mimpi seperi sang suami.

“Good night, Love. Sleep well.”

Ada alasan dibalik lamanya waktu yang dibutuhkan Wonwoo untuk mandi tadi pagi.

Perkataan Mingyu di malam pertama mereka menginjakkan kaki di Maldives bukan menjadi angin lewat bagi Wonwoo.

“Bilang aja kamu siapnya kapan, aku nurut.”

Pernikahan mereka bukan terjadi tadi malam, tapi 2 bulan lalu. Bagaimanapun juga ia harus menjalankan kewajiban menjadi pasangan yang baik kan?

Tadi pagi di kamar mandi, Wonwoo mempersiapkan diri secara mental dan fisik.

“Wonwoo, kamu gak boleh biarin suami kamu nunggu lama. Ingat, ini kewajiban bukan paksaan.” ujarnya menghadap ke kaca.

Ia mengeluarkan alat cukur dari travel bag nya. Memangkas habis bulu halus di semua tubuh agar tak malu saat berhadapan dengan Mingyu.

Membersihkan semua bagian tubuh dari atas hingga bawah tanpa terlewat sedikit pun. Benar-benar tak ingin mengecewakan suaminya masalah kebersihan tubuh.

Selepas makan malam selesai, Wonwoo membiarkan Mingyu untuk pergi ke kasur terlebih dahulu. Sedangkan dirinya masih sama seperti tadi pagi, berdiam diri di dalam kamar mandi.

Entah ini sudah keberapa kali Wonwoo menggosok giginya. Bahkan ia mandi di malam hari hanya untuk membuat tubuhnya wangi.

“Baju ada... loh, celananya mana?!”

Sungguh, haruskah celananya ketinggalan di koper pada saat seperti ini?

“Wonwoo, kamu ngapain di kamar mandi lama banget?”

Teriakan Mingyu membuat Wonwoo tambah panik. Apakah ia harus keluar tanpa celana?

“Won? kamu sakit?”

“E-enggak, Gyu! Bentar lagi selesai!”

Tak ada jawaban lagi dari luar. Membuat Wonwoo berfikir apa Mingyu tertidur.

“Ah bodo amat! Bajunya juga sepaha kok, gak keliatan juga kalo gak pake celana.”

Akhirnya Wonwoo keluar dari kamar mandi, berusaha meminimalisir suara yang timbul dari tapakan kaki.

Ternyata Mingyu belum tidur, asik bermain handphone dan tak menyadari Wonwoo yang sedang mengendap-endap naik ke tempat tidur.

Perlahan, Wonwoo menarik selimut tebal itu tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh tubuhnya. Dengan ragu, ia memeluk pinggang Mingyu yang sedang bersandar di kepala kasur.

“Kapan kamu naik ke kasur?”

“Tadi.”

“Gak ketauan, kayak hantu aja.”

”....” “Mingyu.”

“Hm?”

“Let's do it tonight.”

“Huh?”

Mingyu menyingkap selimut yang menutupi Wonwoo. Dapat dia lihat dengan jelas semerah apa wajah Wonwoo.

“U-udah! Jangan diliatin terus!”

“Bu-bukan gitu Won. Maksud aku kenapa tiba-tiba banget?”

Tentu ada alasan lain kenapa Wonwoo ingin melakukan ini. Selain karena ini adalah tujuan awal mereka pergi ke Maldives, Wonwoo tidak ingin hari-hari mereka disini terbuang sia-sia karena alasan 'belum siap' darinya.

“Aku mau kita pergi jauh-jauh ke Maldives bukan untuk makan tidur aja. Dan juga aku belum kasih kamu apa-apa dari awal nikah. Aku gak mau bulan madu kita sia-sia.”

Ucapan Wonwoo membuat Mingyu mengerutkan alisnya, “No, honey. Kata siapa sia-sia? Dari perjalanan ini kita jadi lebih deket. Aku jadi tau tentang kamu. Kita jadi lebih kenal satu sama lain. Aku gak ngerasa ini sia-sia.”

Wonwoo memperbaiki posisinya agar setara dengan Mingyu. Ia mengambil handphone yang masih bertengger di tangan sang suami lalu menaruhnya di atas nakas.

Menangkup wajah Mingyu dengan kedua tangan dan mendekatkan wajah mereka.

“Kamu itu kayaknya langsung dikirim tuhan buat aku deh?”

Kalimat Wonwoo membuat Mingyu tertawa, “Hahahahaha, kenapa gitu?”

“Baik banget, kayak malaikat. Gak ada minus.”

Jarak yang terlalu dekat membuat Mingyu mencuri kesempatan untuk mengambil sebuah kecupan di bibir merah Wonwoo.

“Kamu juga gak ada minus. Semuanya ada di kamu. Ganteng, manly, cantik, manis, serakah banget pokoknya.”

Kalimat itu hanya di balas tawa dari yang di puji, membuat sang lawan bicara gemas lantas memberikan hujan kecupan di seluruh wajahnya.

“Hahahahahaha, udah gyu, geli. Hahahahaha.”

Hujan kecupan terhenti dengan posisi Mingyu yang mengungkung tubuh Wonwoo. Masih belum sadar bahwa sang lawan bicara hanya memakai baju atasan tanpa celana. Kemeja putih polos oversize.

“Kim Wonwoo, its gonna be a long night.”

Ada alasan dibalik lamanya waktu yang dibutuhkan Wonwoo untuk mandi tadi pagi.

Perkataan Mingyu di malam pertama mereka menginjakkan kaki di Maldives bukan menjadi angin lewat bagi Wonwoo.

“Bilang aja kamu siapnya kapan, aku nurut.”

Pernikahan mereka bukan terjadi tadi malam, tapi 2 bulan lalu. Bagaimanapun juga ia harus menjalankan kewajiban menjadi pasangan yang baik kan?

Tadi pagi di kamar mandi, Wonwoo mempersiapkan diri secara mental dan fisik.

“Wonwoo, kamu gak boleh biarin suami kamu nunggu lama. Ingat, ini kewajiban bukan paksaan.” ujarnya menghadap ke kaca.

Ia mengeluarkan alat cukur dari travel bag nya. Memangkas habis bulu halus di semua tubuh agar tak malu saat berhadapan dengan Mingyu.

Membersihkan semua bagian tubuh dari atas hingga bawah tanpa terlewat sedikit pun. Benar-benar tak ingin mengecewakan suaminya masalah kebersihan tubuh.

Selepas makan malam selesai, Wonwoo membiarkan Mingyu untuk pergi ke kasur terlebih dahulu. Sedangkan dirinya masih sama seperti tadi pagi, berdiam diri di dalam kamar mandi.

Entah ini sudah keberapa kali Wonwoo menggosok giginya. Bahkan ia mandi di malam hari hanya untuk membuat tubuhnya wangi.

“Baju ada... loh, celananya mana?!”

Sungguh, haruskah celananya ketinggalan di koper pada saat seperti ini?

“Wonwoo, kamu ngapain di kamar mandi lama banget?”

Teriakan Mingyu membuat Wonwoo tambah panik. Apakah ia harus keluar tanpa celana?

“Won? kamu sakit?”

“E-enggak, Gyu! Bentar lagi selesai!”

Tak ada jawaban lagi dari luar. Membuat Wonwoo berfikir apa Mingyu tertidur.

“Ah bodo amat! Bajunya juga sepaha kok, gak keliatan juga kalo gak pake celana.”

Akhirnya Wonwoo keluar dari kamar mandi, berusaha meminimalisir suara yang timbul dari tapakan kaki.

Ternyata Mingyu belum tidur, asik bermain handphone dan tak menyadari Wonwoo yang sedang mengendap-endap naik ke tempat tidur.

Perlahan, Wonwoo menarik selimut tebal itu tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh tubuhnya. Dengan ragu, ia memeluk pinggang Mingyu yang sedang bersandar di kepala kasur.

“Kapan kamu naik ke kasur?”

“Tadi.”

“Gak ketauan, kayak hantu aja.”

”....” “Mingyu.”

“Hm?”

“Let's do it tonight.”

“Huh?”

Mingyu menyingkap selimut yang menutupi Wonwoo. Dapat dia lihat dengan jelas semerah apa wajah Wonwoo.

“U-udah! Jangan diliatin terus!”

“Bu-bukan gitu Won. Maksud aku kenapa tiba-tiba banget?”

Tentu ada alasan lain kenapa Wonwoo ingin melakukan ini. Selain karena ini adalah tujuan awal mereka pergi ke Maldives, Wonwoo tidak ingin hari-hari mereka disini terbuang sia-sia karena alasan 'belum siap' darinya.

“Aku mau kita pergi jauh-jauh ke Maldives bukan untuk makan tidur aja. Dan juga aku belum kasih kamu apa-apa dari awal nikah. Aku gak mau bulan madu kita sia-sia.”

Ucapan Wonwoo membuat Mingyu mengerutkan alisnya, “No, honey. Kata siapa sia-sia? Dari perjalanan ini kita jadi lebih deket. Aku jadi tau tentang kamu. Kita jadi lebih kenal satu sama lain. Aku gak ngerasa ini sia-sia.”

Wonwoo memperbaiki posisinya agar setara dengan Mingyu. Ia mengambil handphone yang masih bertengger di tangan sang suami lalu menaruhnya di atas nakas.

Menangkup wajah Mingyu dengan kedua tangan dan mendekatkan wajah mereka.

“Kamu itu kayaknya langsung dikirim tuhan buat aku deh?”

Kalimat Wonwoo membuat Mingyu tertawa, “Hahahahaha, kenapa gitu?”

“Baik banget, kayak malaikat. Gak ada minus.”

Jarak yang terlalu dekat membuat Mingyu mencuri kesempatan untuk mengambil sebuah kecupan di bibir merah Wonwoo.

“Kamu juga gak ada minus. Semuanya ada di kamu. Ganteng, manly, cantik, manis, serakah banget pokoknya.”

Kalimat itu hanya di balas tawa dari yang di puji, membuat sang lawan bicara gemas lantas memberikan hujan kecupan di seluruh wajahnya.

“Hahahahahaha, udah gyu, geli. Hahahahaha.”

Hujan kecupan terhenti dengan posisi Mingyu yang mengungkung tubuh Wonwoo. Masih belum sadar bahwa sang lawan bicara hanya memakai baju atasan tanpa celana. Kemeja putih polos oversize.

“Kim Wonwoo, its gonna be a long night.”

-Overthinking-

“Mingyu.”

“Hm?”

Ia menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi tubuh polosnya yang tak tertutupi sehelai benang pun.

“Kamu gak merasa bersalah sama fans kita?”

“Tentang?”

“Apa yang kita lakuin ini.”

“Kenapa harus merasa bersalah?” Mingyu mendekatkan tubuhnya ke lawan bicara, menarik selimut yang menutupi tubuh cantik itu agar dapat berbagi dengannya.

“Kita merusak kepercayaan mereka, Gyu. Mereka tahu kita tinggal serumah cuma sebatas homemate.”

“Mereka mau apa kalau tau ternyata kita soulmate, Won?”

Wonwoo terdiam. Ia tak tau apa yang harus dikatakan saat kata 'Soulmate' itu terdengar ditelinganya.

“Won, bisa gak stop overthinking after sex? Ini bukan pertama kalinya kamu bahas itu. Semenjak kita pindah rumah kenapa kamu selalu mikirin hal-hal gak penting?”

Jujur, Mingyu jengah. Fans? itu hanya ada saat mereka bekerja. Sekarang mereka sedang tidak bekerja, jadi kenapa harus memikirkan orang-orang itu?

Jika disuruh memilih pun, Mingyu jelas tau dia akan memilih Wonwoo daripada pekerjaan terikat ini.

Tapi bagimana dengan Wonwoo? apa dia akan melakukan hal yang sama?

Mereka bertemu karena pekerjaan, jadi yang harus dipertahankan adalah pekerjaan, bukan?

“Kalau mereka tau, aku gak bisa bayangin seberapa banyak orang yang kita sakitin secara gak langsung karena hubungan kita.”

“Sekarang aku mau tanya, kita bisa gak melawan takdir?”

Yang diberi tanya menggelengkan kepalanya.

“Soulmate itu takdir, Won. Kita harus terima itu apa adanya. Kamu gak suka sama hubungan kita, ya?”

Pertanyaan Mingyu membuat Wonwoo membalikkan badannya cepat menghadap sang dominan.

“Pertanyaan kamu apa-apaan, sih? Hubungan kita udah 6 tahun gak mungkin aku gak suka.”

“Yaudah, sekarang kamu pikirin kita aja, jangan mereka. Disaat fans punya kehidupan pribadinya sendiri, kenapa idol mereka gak boleh punya kehidupan pribadinya juga?”

Kali ini Wonwoo memilih diam, karena Wonwoo tau bahwa kalimat yang diucapkan Mingyu benar.

Tubuhnya ditarik Mingyu untuk mendekat, tubuh mereka yang tak terbalut kain saling mendekap erat, memberikan ketenangan bagi sang submissive yang tak berhenti gelisah sejak tadi.

“Ada kalanya kita harus bersikap seperti idol dan orang biasa. Saat kita kerja ya, kita harus profesional demi karir kita. Tapi saat kita lagi gak kerja, kita harus jalanin kehidupan kita sebagai orang biasa. Setiap orang punya kehidupan pribadinya, kan?”

Sebuah anggukan Wonwoo berikan sebagai jawaban untuk pertanyaan Mingyu.

Wajahnya yang tenggelam dalam dekapan hangat dari orang di sampingnya seketika memerah kala Mingyu memberi kecupan-kecupan halus di wajah dan pucuk kepalanya.

“Jadi, jangan overthinking lagi ya?”

“Iya...”

Pelukan mereka terlepas dengan tangan Wonwoo yang terkunci di samping kepalanya dan Mingyu yang mengukung tubuhnya, lagi.

“Sekarang... bisa kan jadi Wonwoo pacar Mingyu, bukan Idol Wonwoo member Group Seventeen?”

Malam itu kembali mereka habiskan sebagai Kim Mingyu dan Jeon Wonwoo, dua pemuda yang terikat sebuah hubungan yang disebut 'Soulmate' dan dipertemukan karena pekerjaan yang 'beresiko' sebagai Idola dunia.